Oleh Teguh
Gumilar
@surga-fisika
“… yang boleh ikut seleksi ON MIPA-PT tingkat
wilayah hanya untuk mahasiswa perguruan tinggi yang berada di lingkungan
Kementrian Riset Teknoogi dan Pendidikan TInggi sedangkan UIN berada di bawah
Kementrian Agama…”
Begitulah cuplikan isi surat dari
Kopertis Wilayah IV yang diterima para calon peserta Olimpiade Nasional
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON-MIPA PT) 2015 dari UIN
SGD Bandung 6 hari sebelum pelaksanaan yaitu tanggal 8-9 April 2015.
Menyedihkan sekali apa yang menjadi kenyataan dunia pendidikan tinggi. Sangat
disayangkan bahwa sebanyak 28 mahasiswa yang berasal dari Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan dan Fakultas Sains dan Teknologi yang merupakan calon peserta ON-MIPA
PT 2015 ditolak secara mendadak atas keikut sertaan dalam ajang bergengsi MIPA
tahunan tersebut. Padahal pada tahun 2014, sebanyak 14 mahasiswa dari
pendidikan fisika, fisika saintek, dan biologi saintek diperbolehkan untuk
mengikuti ON-MIPA PT. Apakah ini merupakan suatu diskriminasi pendidikan di
Indonesia?
Kecewa. Itulah kata yang
tertanam di benak para calon peserta. Persiapan yang sudah matang selama
berminggu-minggu berharap bisa membawa nama baik UIN Bandung di kompetisi MIPA
berakhir ironis menjelang pelaksanaan. Hal ini menjadi pertanda diskriminasi
pendidikan di tingkat tinggi. Mahasiswa-mahasiswi UIN SGD Bandung yang berada
di kedua fakultas berbasis MIPA hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Sikap
diskriminasi terhadap kampus hijau ini bukan masalah spele untuk dilupakan
begitu sajah. Para mahasiswa di kampus hijau yang berstatus ‘mahasiswa MIPA’
harusnya disejajarkan dengan ‘mahasiswa MIPA’ di kampus-kampus besar lainnya
yang menyelenggarakan program MIPA. Atas status bidang keilmuwan mereka
sebenarnya berhak untuk mengikuti ajang bergengi MIPA tahunan tersebut. Namun
apa daya, kebijakan ‘aneh’ datang dari kopertis wilayah IV yang menolak semua
peserta dari UIN Bandung yang tahun sebelumnya mangikuti kompetisi ini.
Sebelum surat penolakan
tersebut diterima, 28 mahasiswa dari dua fakultas kampus hijau telah
mendaftarkan diri sebagai peserta dan telah mendapat surat tanda terima sebagai
peserta ON-MIPA PT Tahun 2015. Kebijakan dadakan ini jelas membuat para
mahasiswa kampus hijau enggan untuk mengikuti ON-MIPA PT untuk tahun berikutnya.
Ketidak ikutsertaan ini memperjelas batasan prestasi bagi para mahasiswa kampus
hijau. Para mahasiswa kampus hijau seperti dianaktirikan dalam hal prestasi
oleh kementrian riset teknogi dan pendidikan tinggi.
Dalam ON-MIPA PT
bidang matematika, peserta yang memperoleh medali emas akan diikut sertakan
dalam kompetisi matematika internasional. Dalam hal ini para mahassiwa MIPA
dari perguruan tinggi asuhan kementrian agama seperti tidak boleh ambil bagian
dalam hal tersebut. Hal ini merupakan suatu diskrimasi pendidikan ketika para
mahasiswa yang berharap bisa berpartisipasi dalam kompetisi tersebut ditahan
langkahnya hanya gara-gara bukan asuhan kementrian riset teknogi dan pendidikan
tinggi.
Diskriminasi prestasi di tingkat pendidikan dasar
Kasus serupa juga terjadi di
tingkat pendidikan dasar. Portal berita on-line
kompas.com memberitakan pada 9 Maret 2015 lalu bahwa tiga Madrasah
Ibtidaiyah (MI) yaitu MI-Al Bidayah, MI Wonokasihan Jambu, dan MI Kalirejo yang
berhasil menjuarai Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat kabupaten ditahan
langkahnya untuk berkompetisi di tingkat provinsi hanya karena statusnya sebagai
madrasah yang merupakan asuhan kementrian agama.
Sungguh ini merupakan
hal yang sangat ironis di dunia pendidikan kita. Diskrimasi prestasi akademik
putra-putri bangsa telah terjadi di tingkat dasar dan tinggi. OSN dan ON-MIPA
PT yang seharusnya menjadi tempat untuk menunjukan bakat akademik putra putri
bangsa malah menjadi ajang pembatasan prestasi. Semua siswa dan mahasiswa berhak
untuk menorehkan prestasi selama berstatus pelajar. Mereka berhak untuk
difasilitasi sebagai bagian dari pembangunan pendidikan yang berkelanjutan.
Kedua kementrian harusnya menyadari hal ini masalah yang harus diselesaikan
bersama agar menemukan titik temu. Hal ini penting karena keduanya merupakan
lembaga negara yang bertanggung jawab juga terhadap pembentukan karakter juara
anak-anak bangsa. Semoga kedua kementrian saling memahami bahwa pendidikan
harus dibangun atas kesadran bersama bukan atas ego masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar