Senin, 25 Mei 2015

DISKRIMINASI PRESTASI PELAJAR MIPA DI AJANG KOMPETISI MIPA NASIONAL


Oleh Teguh Gumilar
@surga-fisika

  “… yang boleh ikut seleksi ON MIPA-PT tingkat wilayah hanya untuk mahasiswa perguruan tinggi yang berada di lingkungan Kementrian Riset Teknoogi dan Pendidikan TInggi sedangkan UIN berada di bawah Kementrian Agama…”



Begitulah cuplikan isi surat dari Kopertis Wilayah IV yang diterima para calon peserta Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON-MIPA PT) 2015 dari UIN SGD Bandung 6 hari sebelum pelaksanaan yaitu tanggal 8-9 April 2015. Menyedihkan sekali apa yang menjadi kenyataan dunia pendidikan tinggi. Sangat disayangkan bahwa sebanyak 28 mahasiswa yang berasal dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Fakultas Sains dan Teknologi yang merupakan calon peserta ON-MIPA PT 2015 ditolak secara mendadak atas keikut sertaan dalam ajang bergengsi MIPA tahunan tersebut. Padahal pada tahun 2014, sebanyak 14 mahasiswa dari pendidikan fisika, fisika saintek, dan biologi saintek diperbolehkan untuk mengikuti ON-MIPA PT. Apakah ini merupakan suatu diskriminasi pendidikan di Indonesia?
Kecewa. Itulah kata yang tertanam di benak para calon peserta. Persiapan yang sudah matang selama berminggu-minggu berharap bisa membawa nama baik UIN Bandung di kompetisi MIPA berakhir ironis menjelang pelaksanaan. Hal ini menjadi pertanda diskriminasi pendidikan di tingkat tinggi. Mahasiswa-mahasiswi UIN SGD Bandung yang berada di kedua fakultas berbasis MIPA hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Sikap diskriminasi terhadap kampus hijau ini bukan masalah spele untuk dilupakan begitu sajah. Para mahasiswa di kampus hijau yang berstatus ‘mahasiswa MIPA’ harusnya disejajarkan dengan ‘mahasiswa MIPA’ di kampus-kampus besar lainnya yang menyelenggarakan program MIPA. Atas status bidang keilmuwan mereka sebenarnya berhak untuk mengikuti ajang bergengi MIPA tahunan tersebut. Namun apa daya, kebijakan ‘aneh’ datang dari kopertis wilayah IV yang menolak semua peserta dari UIN Bandung yang tahun sebelumnya mangikuti kompetisi ini.
Sebelum surat penolakan tersebut diterima, 28 mahasiswa dari dua fakultas kampus hijau telah mendaftarkan diri sebagai peserta dan telah mendapat surat tanda terima sebagai peserta ON-MIPA PT Tahun 2015. Kebijakan dadakan ini jelas membuat para mahasiswa kampus hijau enggan untuk mengikuti ON-MIPA PT untuk tahun berikutnya. Ketidak ikutsertaan ini memperjelas batasan prestasi bagi para mahasiswa kampus hijau. Para mahasiswa kampus hijau seperti dianaktirikan dalam hal prestasi oleh kementrian riset teknogi dan pendidikan tinggi.
Dalam ON-MIPA PT bidang matematika, peserta yang memperoleh medali emas akan diikut sertakan dalam kompetisi matematika internasional. Dalam hal ini para mahassiwa MIPA dari perguruan tinggi asuhan kementrian agama seperti tidak boleh ambil bagian dalam hal tersebut. Hal ini merupakan suatu diskrimasi pendidikan ketika para mahasiswa yang berharap bisa berpartisipasi dalam kompetisi tersebut ditahan langkahnya hanya gara-gara bukan asuhan kementrian riset teknogi dan pendidikan tinggi.
Diskriminasi prestasi di tingkat pendidikan dasar
Kasus serupa juga terjadi di tingkat pendidikan dasar. Portal berita on-line kompas.com memberitakan pada 9 Maret 2015 lalu bahwa tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) yaitu MI-Al Bidayah, MI Wonokasihan Jambu, dan MI Kalirejo yang berhasil menjuarai Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat kabupaten ditahan langkahnya untuk berkompetisi di tingkat provinsi hanya karena statusnya sebagai madrasah yang merupakan asuhan kementrian agama.
Sungguh ini merupakan hal yang sangat ironis di dunia pendidikan kita. Diskrimasi prestasi akademik putra-putri bangsa telah terjadi di tingkat dasar dan tinggi. OSN dan ON-MIPA PT yang seharusnya menjadi tempat untuk menunjukan bakat akademik putra putri bangsa malah menjadi ajang pembatasan prestasi. Semua siswa dan mahasiswa berhak untuk menorehkan prestasi selama berstatus pelajar. Mereka berhak untuk difasilitasi sebagai bagian dari pembangunan pendidikan yang berkelanjutan. Kedua kementrian harusnya menyadari hal ini masalah yang harus diselesaikan bersama agar menemukan titik temu. Hal ini penting karena keduanya merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab juga terhadap pembentukan karakter juara anak-anak bangsa. Semoga kedua kementrian saling memahami bahwa pendidikan harus dibangun atas kesadran bersama bukan atas ego masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar