Senin, 25 Mei 2015

KADERISASI MASYARAKAT ILMU SAINS SEBAGAI PILAR PEMBANGUNAN YANG BERDAYA SAING DI ASEAN

Oleh Teguh Gumilar
@surga-fisika

 
 Mereka sebenarnya tidak apatis
Apa yang teringat di pikiran anda ketika disebutkan kata “fisika”? Ya, sebagian besar masyarakat ilmu khusunya para siswa mengatakan “sulit” dan mereka enggan mengatakan fisika itu mudah. Menurut data dari indeks kompetensi sekolah SMA/MA hasil ujian nasional (UN) 2013, tercatat fisika menempati peringkat kedua terbawah dengan nilai 59.15 di bawah matematika dengan nilai 56.96.[1] Hasil ini perlu diperhatikan mengingat kedua mata pelajaran ini merupakan fundamental ilmu di perguruan tinggi teknik dan sains teknologi. Terlebih lagi wacana penghapusan seleksi terpisah masuk perguruan tinggi (PT) dan menjadikan UN sebagai standar tes perguruan tinggi adalah hal yang menarik untuk dijadikan sandaran kualitas mahasiswa PT. Data tersebut juga menunjukkan kurangnya kualitas ilmu sains khususnya fisika di kalangan siswa-siswi.
Alasannya bervariasi mulai dari kebosanan siswa dalam metode pembelajaran fisika hingga permasalahan profesionalitas pendidik dalam menyampaikan ilmu. Ditambah lagi kurang meratanya kualitas pendidikan sains antar pulau di Indonesia dilihat dari indeks kompetensi sekolah hasil UN Fisika tahun 2013 yang rendah di wilayah-wilayah luar jawa seperti Sulawesi, Maluku, Papua dan beberapa provinsi di pulau Kalimantan dan Sumatra.
Ketidakmerataan ini tidak hanya bersumber dari sarana prasarana saja melainkan distribusi guru sains professional khususnya fisika. Profesor Walter Lewin, guru besar Massachusetts Institute of Technology (MIT) di USA pada kuliah terakhirnya pernah berkata bahwa jika anda tidak bisa fisika maka anda mempunyai guru yang kurang baik.[2] Ini suatu hal yang menarik ketika guru fisika dijadikan penangung jawab utama proses dan hasil pembelajaran. Pendidiklah yang benar-benar menyentuh permasalahan ilmu siswa dan sebagai dalang utama penentu kualitas manusia Indonesia di masa lima atau sepuluh tahun mendatang. Kompetensi professional yang baik dari seorang pendidik akan menentukan kualitas ilmu dan kualitas belajar siswa khususnya fisika dan ilmu eksakta lainnya sehingga sebenarnya mereka tidak apatis terhadap fisika melainkan belum bertemu dengan pendidik yang baik.
Berbenah diri merupakan langkah objektif pendidik sains fisika ketika pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 pasar jasa guru dan dosen akan bebas mengalir antar negara-negara ASEAN, walaupun sektor jasa yang akan diprioritaskan pada saat itu yaitu pariwisata, kesehatan, penerbangan dan e-ASEAN.[3] Indonesia sebenarnya berpeluang besar menjadi negara powerfull dalam memimpin MEA dengan jumlah penduduknya mencapai 40% dari total penduduk ASEAN. Melalui kebijakan pasar barang dan jasa bebas ASEAN ini sebenarnya bisa menjadi angin segar bagi calon pendidik terutama fisika untuk bisa mengembangkan empat kompetensi utama seorang guru dalam menjawab tantangan belajar berbasis sains dan teknologi. Angin segar yang dimaksud adalah kesempatan untuk memanfaatkan peluang pasar jasa bebas untuk meningkatkan kompetensi pribadi pendidik dengan cara mengembangkan ilmu ke negara ASEAN lainnya dalam bentuk mengajar, magang, dan cara lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan sains. Dengan cara itu bentuk pengembangan keprofesionalitasan guru akan bervariasi dan universal. Demikian juga pasar jasa yang masuk ke Indonesia yang bekerja, mengajar, dan lainnya menjadi cambuk bagi calon guru dan guru di Indonesia untuk dapat bersaing.
Paradigma buruk yang seharusnya runtuh
Paradigma fisika sebagai ilmu yang sulit merupakan masalah klasik pendidikan sains di sekolah dan bahkan perguruan tinggi, namun paksaan belajar dengan cara-cara kreatif bisa menjadi solusi. Pengenalan lebih dini ilmu terapan dalam teknologi serta pengenalan prospek perguruan tinggi profesi keinsinyuran sains dan teknologi akan memberikan warna baru dalam kelas fisika tersendiri.
Inilah sebenarnya yang menjadi tugas calon pendidik dan pendidik yaitu membunuh paradigma buruk masyarakat ilmu terhadap fisika dan ilmu sains lainnya. Kurikulum di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) MIPA harusnya mengacu pada kebutuhan kompetitif MEA 2015. Calon pendidik di LPTK pun harus sadar bahwa cara mendidik siswa sekarang akan berbeda dengan lima tahun kedepan sesuai dengan perkembangan kebutuhan pasar pengguna sekolah seperti industri. Pendidik harus tahu apa yang harus siswa kuasai untuk masa sekarang dan sepuluh tahun nanti; apa yang harus diajarkan; bagaimana pula menumbuhkan semangat pembelajaran saintifik kepada siswa agar mereka mau mengerti fisika serta agar mereka tahu bahwa negara kita membutuhkan orang-orang seperti mereka nantinya.
Pendidikan berbasis Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) yang menekankan pembelajaran terintegrasi antar ilmu berbasis permasalahan mungkin bisa pula diterapkan di sekolah menengah walau pun agak sulit karena berbagai keterbatasan. Namun apa daya usaha sekeras batu pun harus mulai digalakkan oleh para pendidik. Pembiasaan berfikir integritas adalah salah satunya. Dengan cara berfikir integritas matematika, sains dan teknologi maka siswa akan jauh lebih memahami apa sebenarnya makna pembelajaran matematika dan sains kaitannya dengan teknologi di kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut guru untuk memiliki kompetensi pedagogik dan profesionalitas ilmu yang begitu mumpuni.
Hasil penelitian Rasto dan kawan-kawan tahun 2013 menyimpulkan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya pencapaian SKL mata pelajaran fisika adalah kurangnya apersepsi dari guru yang bersifat aplikatif. Guru lebih mengedepankan jumlah materi yang diajarkan, bukan mengedepankan sifat aplikatif dari pembelajaran fisika. LPTK MIPA di perguruan tinggi sebaiknya menyadari akan hal ini sebagai sebuah tuntutan di samping sebagai tantangan. Ilmu yang diajarkan secara parsial atau terpisah kepada mahasiswanya akan membuat mereka bingung memahami makna pembelajaaran sains dan teknologi di kampus. Ini juga akan berdampak kurang baik saat praktik di lapangan (sekolah). Oleh karenanya pembenahan secara berkesinambungan antara pihak sekolah menengah dan perguruang tinggi perlu dilakukan secara bersama. Semua ini agar pengkaderan ilmuwan dan insinyur di Indonesia semakin jelas dan lebih baik. Jika kaderisasi telah jelas maka tanggungan berat pemerintah dan industri-industri pengguna jasa akan semakin berkurang. Ini mungkin akan berdampak pada kemungkinan kepemimpinan Indonesia sebagai leader country di pasar terbuka MEA.
Banyak hal yang telah LPTK lakukan semisalnya dengan berbagai ratusan bahkan ribuan penelitian untuk mencari suatu titik temu ideal pengajaran sains khususnya fisika dan teknologi di sekolah menengah. Namun paradigma sulit di benak masyarakat ilmu itu masih ada terhadap ilmu sains. Problem utama terbesar yang mungkin adalah sebagian hasil penelitain itu kurang aplikatif di sekolah. Sebagian besar penelitian pendidikan hanya bertumpuk di perpustakaan dalam berbagai bentuk tanpa adanya aplikasi penggunaan di lapangan. Fakta bahwa sekitar 74% hasil penelitian atau riset di Indonesia di berbagai disiplin ilmu merupakan riset yang tidak aplikatif dan hanya sekitar 26% yang aplikatif baik di pendidikan sains teknologi atau pun di bidang sains teknologinya sendiri.[4] Oleh karenanya penelitian berbasis aplikatif perlu didorong bagi peneliti muda, madya, dan professional di bidang pendidikan sains agar penelitian di bidang pendidikan sains dan teknologi bisa memperbaiki keadaan dan paradigma buruk itu hilang sehingga kualitas pendidikan sains lebih baik sehingga siswa-siswi calon mahasiswa insinyur dan sains teknologi berkualitas tinggi untuk menghasilkan lulusan yang siap guna dan siap berkompetisi di kancah ASEAN bahkan dunia. Jika banyak insinyur dan saintis professional pencipta dan pengembang teknologi di dunia industri maka pembangunan akan semakin cepat dan lancar.
Kebutuhan insinyur dan ilmuwan sebagai acuan para pendidik
Bagaimana jika kita tanyakan profesi insinyur dan ilmuwan kepada masyarakat? Ya, mayoritas mengenal dua profesi tersebut. Jika dulu masyarakat sangat populer dengan kata profesi dokter, namun dengan peralihan pemikiran dan perluasan ilmu pengetahuan dan berbagai macam profesi yang semakin populer, maka masyarakat sebenarnya perlu beralih kepada kepopuleran profesi yang memang berperan dalam pembangunan fisik dan teknologi inovatif Indonesia sebagai pilar pembangunan bangsa yang kompetitif.
Perlu diketahui bahwa total kebutuhan insinyur di Indonesia adalah 175.000 orang per tahun dengan jumlah lulusan yang hanya 42.000 orang per tahun.[5] Angka ini akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan pasar industri terbuka pada MEA tahun 2015, sehingga dukungan dalam segi riset, publikasi riset, scientific evidence, dan promosi ke luar negeri akan sangat perlu dilakukan meskipun sebenarnya keterlambatan dukungan akan terjadi mengingat MEA 2015 sudah di depan mata.[6] Angka lulusan ini belum merepresentasikan kualitas yang pasar inginkan. Walaupun kebutuhan insinyur dan ilmuan peneliti dipenuhi oleh perguruan tinggi namun pengkaderan secara dini bisa dilakuakan terhadap para siswa tingkat menengah seperti di SMA atau SMK Teknologi yang akan menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
Kualitas mahasiswa di perguruan tinggi salah satunya bisa dilihat pada cara belajar mereka di sekolah menengah. Siswa yang memiliki kompetensi professional di bidang sains fisika dan teknologi terapan lebih berpeluang untuk mengembangkan keilmuannya dari pada sekedar siswa calon mahasiswa yang siap untuk digembleng ulang. Siswa yang seperti inilah yang patut diperhatikan untuk mendapatkan pembinaan sebagai calon insinyur dan ilmuwan sains untuk memenuhi kebutuhan ratusan ribu teknisi, insinyur, serta ilmuwan sains di Indoensia saat ini atau nanti. Oleh karenanya peran serta pendidik khususnya guru fisika di sekolah menengah sangat dibutuhkan mengingat tuntutan MEA 2015 bisa menjadi sangat berat karena ketidaksiapan atau pun menjadi peluang bagi Indonesia sendiri karena kelebihan kita.
Sebagai dasar dari ilmu keinsinyuran, bagaimana mungkin Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pasar insinyur dan ilmuwan teknologi untuk persaingan di kancah ASEAN di tahun 2015 bila siswa-siswi dan bahkan para mahasiswa calon ilmuwan dan teknisi saja tidak senang dan mumpuni di fisika? Walapun pengajaran fisika di sekolah menengah tidak berperan langsung dalam keinsinyuran di Indonesia, namun bayangkan apabila fisika dan ilmu-ilmu sains lainnya menjadi mayoritas kesenangan di kalangan siswa-siswi di sekolah, pertumbuhan peminatan jurusan teknik dan sains teknologi akan meningkat disusul dengan minat non-teknik. Jika hal ini didukung dengan sarana dan prasarana di perguruan tinggi teknologi maka yang terjadi adalah perluasan grade lulusan yang benar-benar siap digunakan dan berdaya saing di tingkat ASEAN bahkan mungkin dunia. Hal ini mendorong semangat kesiapan SDM jika MEA benar-benar terwujud tahun 2015 atau setelahnya.
Arus bebas jasa terdidik teknik dan sains teknologi akan benar-benar tidak akan tersingkirkan dari pasar jasa di waktu MEA. Namun apa daya, 2015 sudah di depan mata, para kepala negara telah sepakat pada Januari 2007 bahwa MEA dipercepat dari tahun 2022 ke tahun 2015. Para ilmuwan, teknisi, periset, dan lain sebagainya yang telah dididik jauh-jauh hari dengan kurikulum yang berlaku saat itu harus menghadapi keadaan yang teramat cukup sulit akan persaingan. Terlebih lagi UU No. 11 tahun 2014 tentang keinsinyuran terbilang baru. Jika Indonesia meminta kemoloran MEA maka ini bisa menjadi pertanda ketidak siapan SDM kita. Namun bisakah dalam waktu sesingkat ini Indonesia mampu berbenah di berbagai sektor terutama sektor pasar jasa professional ini melalui pendidikan?
Pada Agustus 2006 menteri ekonomi Indonesia bersama menteri-menteri ekonomi dari sembilan negara-negara Asean pembentuk MEA 2015 telah sepakat mengembangkan ASEAN Economic Community Blue Print yang merupakan panduan perwujudan MEA. Sebuah tantangan besar bagi Indonesia untuk siap bersaing dalam kondisi dimana diperkirakan persaingan besar-besaran di bidang jasa tentunya keinsinyuran dan profesi-profesi lainnya akan terjadi ditandai dengan arus tenaga kerja yang bebas masuk keluar antar negara ASEAN. Ini menjadi pertanyaan besar bagi berbagai pihak terkait, apakah keinsinyuran, ilmuwan teknologi, dan jasa professional kita telah siap untuk bersaing di pasar jasa bebas MEA 2015? Jawabannya ada pada hasil pendidikan terdahulu. Para lulusan terdidik dari berbagai institusi teknik dan non teknik yang menggunakan kurikulum belajar gaya lama akan menikmati hasilnya pada saat ini. Namun apakah kurikulum perguruan tinggi yang terdahulu mereka gunakan berorientasi pada tahun 2015 dimana persaingan pasar jasa akan semakin komptitif dengan segala keterbatasan kita akan jumlah, profesionalitas, dan kesiapgunaan jasa? Jika kita masih merasa belum berorientasi, maka langkah strategis apa yang harus dilaksanakan? Bagaimana juga relevansi kurikulum 2013 di sekolah dalam mempersiapkan anak-anak terbaik bangsa di masa depan ketika MEA sudah berlaku? Apakah Indonesia hanya akan terus-menerus merombak kurikulum pendidikan menengah dan atau tinggi  tanpa tau arah pembangunan dan tantangan ke depan?
Hal yang sangat ironis apabila kurikulum sekolah dan perguruan tinggi saja masih menjadi perdebatan semenatara negara-negara tetangga sudah lebih baik dalam proses pendidikan terutama pendidikan sains teknologi. Sebenarnya ada hal yang paling mendasar dari proses bergulirnya sistem pendidikan di Indoensia yaitu masalah kualitas guru dan calon guru (mahasiswa calon pendidik). Mengapa demikian? Kualitas siswa dalam memahami ilmu fisika sangat tergantung pada kompetensi-kompetensi guru dalam menyampaikan dan mengemas ilmu. Apakah guru mampu untuk menyampaikan ilmu sedemikian rupa sehingga fisika lebih aplikatif dari pada sekedar ilmu abstrak yang tak jelas mau digunakan untuk apa. Disini kemampuan menguasai materi fisika serta aplikatif teknologinya sangat penting, atau dalam dunia keguruan disebut kompetisi professional guru. Siswa akan merasa puas jika guru banyak menyampaikan fisika yang bersifat aplikatif dan mendalam. Jika kemudian guru memperkenalkan kepada siswa sistem belajar sains terutama fisika di universitas; memperkenalkan penelitian; dan memperkenalkan profesi keteknikan dan keilmuwanan secara menyenangkan maka siswa akan bertanya terus menerus mengenai ketiga hal tersebut dan mungkin juga siswa termotivasi untuk kuliah di jurusan berbasis sains teknologi dan teknik. Hal ini merupakan suatu keberlanjutan (sustainability). Jika ini terjadi pada semua sekolah menengah di Indonesia, mungkin kebutuhan akan professional keteknikan dan sains teknologi akan cukup terpenuhi itu pun jika pendidikan di tingkat yang lebih tinggi serta UU yang mengatur perteknikan dan sains teknologi sangat serius diperhatikan.
Menimbang bahwa baik buruknya pembelajaran sains di sekolah berimplikasi pada kompetensi calon mahasiswa yaitu siswa, maka penekanan pada subjek ini pun harus lebih intensif. Kurikulum 2013 yang sekarang digunakan harus mampu merubah paradigma siswa terhadap pembelajaran sains di sekolah. Pendekatan scientific pada pembelajaran fisika di sekolah harus mampu menjawab keragu-raguan masyarakat terhadap masa depan anak bangsa dalam tantangan global di tingkat ASEAN yang mungkin mengancam kompetensi SDM di Indonesia. Kurikulum 2013 harus membuat siswa lebih paham bahwa sains dan teknologi merupakan aspek kemajuan suatu peradaban dan persaingan antar bangsa modern, sehingga siswa dan tentunya pendidik merasa lebih memiliki kewajiban untuk tergabung dalam pembangunan bangsa
Integrasi Ilmu Adalah Ide Brilian
Sebenarnya ketidakpraktisan atau ketidakjelasan integrasi ilmu-ilmu alam dengan realisasi teknologi di kehidupanlah yang membuat peminatan ke jurusan teknik dan sains teknologi sedikit seperti hasil penelitian dari Rasto dkk (2011). Pengajaran sains di sekolah menengah kurang diterapkan dalam sains teknologi di kehidupan, akibatnya siswa merasa jenuh dan berakibat pada kekhawatiran masa depannya. Pada prinsipnya belajar hingga perguruan tinggi adalah suatu yang bersifat sustainability atau keberlanjutan. Dengan prinsip ini maka kolaborasi atau penyesuaian di tingkat menengah atau bawah diperlukan atas tuntutan di tingkat atas. Jika fisika disifatkan seperti ini di sekolah menengah pertama atau atas, siswa-siswi akan merasa bahwa belajar mereka berguna di masa sekarang dan masa yang akan datang. Keberlajutan disini juga diartikan bahwa ilmu yang mereka dapatkan tidak terputus tak tau arahnya kemana. Ini juga berarti bahwa ilmu yang harus diberikan bukan hanya sekedar ilmu yang tidak termanfaatkan. Seorang guru sains di SMP atau SMA perlu menjelaskan apa dampak dari pembelajaran fisika di sekolah baik dampak terhadap keberlangsungan pendidikan mereka atau pun terhadap kehidupan setelah mereka mempelajari ilmu fisika. Ini mungkin yang harus menjadi pekerjaan rumah bagi calon guru sains khususnya guru fisika di era persaingan teknologi sekarang. Guru fisika perlu tahu lebih ilmu fisika dan juga perlu tahu teknologi yang sedang mereka bicarakan di kelas. Untuk itu integritas ilmu sains dan juga prinsip-prinsip dalam teknologi sangat diperlukan dalam pembelajaran fisika.
Karena teknologi merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu bangsa maka dari itu perlunya pendidik mengajarkan sains disertai implikasi teknologi sebagai suatu patokan keberhasilan. Jika demikian konsepnya maka teknologi sangat erat hubungannya dengan ilmu sains dan ilmu sains ini diajarkan di sekolah sebagai dasar untuk pembelajaran di universitas. Arsitektur, teknisi mesin, kimiawan, fisikawan, ilmuan biologi, periset dan lain sebagainya merupakan bidang ilmu pembangun fisik bangsa yang mana menunjang baik untuk keberlangsungan perekonomian dan industri bangsa tentunya dalam menghadapi tantangan pasar barang dan jasa bebas pada MEA 2015. Untuk itu pengenalan terapan teknologi dalam pembelajaran sains di sekolah adalah ide brilian untuk mempersiapkan masyarakat ilmu yang unggul.***



RUJUKAN ILMU
1.             Putra, Sitiatava Rizema. 2012. Tips-tips Jitu Mencetak Siswa Juara Olimpiade Sejak Dini. Jogjakarta: Diva Press
2.             Rasto, Nahadi, Soesy Asiah S., dkk. 2011. Analisis Kompetensi Ujian Nasional dan Model Pengembangan Mutu pendidikan SMA di Jawa Barat. Artikel hasil penelitian. Tersedia pdf: http://file.upi.edu/Direktori/FPEB /PRODI._PENDIDIKAN_MANAJEMEN_PERKANTORAN/132296305-RASTO/Artikel%20Hasil%20Penelitian/%5B2011%5D%20Analisis%20Peta%20Kompetensi%20Hasil%20Ujian%20Nasional.pdf
3.             Gade, M.. __. Peningkatan Kulitas Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Fisika. Tersedia pdf: http://www.umnaw.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/ PENINGKATAN-KUALITAS-SDM.pdf
4.             Harian Kompas edisi 25 November 2014 dalam tulisan “MEA 2015 dan potensi Pendidikan Indoensia”
5.             Departemen Perdagangan RI “Menuju Asean Economic Community 2015”. Depag: Direktur Jendral Kerjasama Perdagangan Internasional.


[1] Kemendikbud. 2013. Peta Indeks kompetensi Sekolah SMA/MA Berdasarkan Hasil UN 2013
[2] Walter Lewin’s Last Lecture “For The Love of Physics” (16 Mei 2011)
[3] Departemen Perdagangan RI “Menuju Asean Economic Community 2015” hal. 61
[4] Prasetyo, Eko. 2014. Peran LPDP dalam Membangun Peradaban Bangsa Indonesia yang Berdaya Saing. Seminar Adiwidia Pascasarjana 2014. 7 Desember
[5] Harian Kompas edisi 25 November 2014 dalam tulisan “MEA 2015 dan potensi Pendidikan Indoensia
[6] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar