Oleh Teguh Gumilar
@surga-fisika
Mereka sebenarnya tidak apatis
Apa yang
teringat di pikiran anda ketika disebutkan kata “fisika”? Ya, sebagian besar masyarakat
ilmu khusunya para siswa mengatakan “sulit” dan mereka enggan mengatakan fisika
itu mudah. Menurut data dari indeks kompetensi sekolah SMA/MA hasil ujian
nasional (UN) 2013, tercatat fisika menempati peringkat kedua terbawah dengan
nilai 59.15 di bawah matematika dengan nilai 56.96.[1] Hasil ini perlu diperhatikan
mengingat kedua mata pelajaran ini merupakan fundamental ilmu di perguruan
tinggi teknik dan sains teknologi. Terlebih lagi wacana penghapusan seleksi
terpisah masuk perguruan tinggi (PT) dan menjadikan UN sebagai standar tes
perguruan tinggi adalah hal yang menarik untuk dijadikan sandaran kualitas
mahasiswa PT. Data tersebut juga menunjukkan kurangnya kualitas ilmu sains
khususnya fisika di kalangan siswa-siswi.
Alasannya
bervariasi mulai dari kebosanan siswa dalam metode pembelajaran fisika hingga
permasalahan profesionalitas pendidik dalam menyampaikan ilmu. Ditambah lagi
kurang meratanya kualitas pendidikan sains antar pulau di Indonesia dilihat
dari indeks kompetensi sekolah hasil UN Fisika tahun 2013 yang rendah di wilayah-wilayah
luar jawa seperti Sulawesi, Maluku, Papua dan beberapa provinsi di pulau Kalimantan
dan Sumatra.
Ketidakmerataan
ini tidak hanya bersumber dari sarana prasarana saja melainkan distribusi guru
sains professional khususnya fisika. Profesor Walter Lewin, guru besar
Massachusetts Institute of Technology (MIT) di USA pada kuliah terakhirnya
pernah berkata bahwa jika anda tidak bisa fisika maka anda mempunyai guru yang
kurang baik.[2] Ini suatu hal yang menarik ketika
guru fisika dijadikan penangung jawab utama proses dan hasil pembelajaran.
Pendidiklah yang benar-benar menyentuh permasalahan ilmu siswa dan sebagai
dalang utama penentu kualitas manusia Indonesia di masa lima atau sepuluh tahun
mendatang. Kompetensi professional yang baik dari seorang pendidik akan
menentukan kualitas ilmu dan kualitas belajar siswa khususnya fisika dan ilmu
eksakta lainnya sehingga sebenarnya mereka tidak apatis terhadap fisika
melainkan belum bertemu dengan pendidik yang baik.
Berbenah diri merupakan
langkah objektif pendidik sains fisika ketika pada Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) 2015 pasar jasa guru dan dosen akan bebas mengalir antar negara-negara
ASEAN, walaupun sektor jasa yang akan diprioritaskan pada saat itu yaitu
pariwisata, kesehatan, penerbangan dan e-ASEAN.[3] Indonesia sebenarnya berpeluang
besar menjadi negara powerfull dalam memimpin MEA dengan jumlah
penduduknya mencapai 40% dari total penduduk ASEAN. Melalui kebijakan pasar
barang dan jasa bebas ASEAN ini sebenarnya bisa menjadi angin segar bagi calon
pendidik terutama fisika untuk bisa mengembangkan empat kompetensi utama
seorang guru dalam menjawab tantangan belajar berbasis sains dan teknologi.
Angin segar yang dimaksud adalah kesempatan untuk memanfaatkan peluang pasar
jasa bebas untuk meningkatkan kompetensi pribadi pendidik dengan cara
mengembangkan ilmu ke negara ASEAN lainnya dalam bentuk mengajar, magang, dan
cara lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan sains. Dengan cara itu
bentuk pengembangan keprofesionalitasan guru akan bervariasi dan universal.
Demikian juga pasar jasa yang masuk ke Indonesia yang bekerja, mengajar, dan
lainnya menjadi cambuk bagi calon guru dan guru di Indonesia untuk dapat
bersaing.
Paradigma buruk yang seharusnya
runtuh
Paradigma
fisika sebagai ilmu yang sulit merupakan masalah klasik pendidikan sains di
sekolah dan bahkan perguruan tinggi, namun paksaan belajar dengan cara-cara
kreatif bisa menjadi solusi. Pengenalan lebih dini ilmu terapan dalam teknologi
serta pengenalan prospek perguruan tinggi profesi keinsinyuran sains dan
teknologi akan memberikan warna baru dalam kelas fisika tersendiri.
Inilah
sebenarnya yang menjadi tugas calon pendidik dan pendidik yaitu membunuh
paradigma buruk masyarakat ilmu terhadap fisika dan ilmu sains lainnya.
Kurikulum di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) MIPA harusnya
mengacu pada kebutuhan kompetitif MEA 2015. Calon pendidik di LPTK pun harus
sadar bahwa cara mendidik siswa sekarang akan berbeda dengan lima tahun kedepan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan pasar pengguna sekolah seperti industri.
Pendidik harus tahu apa yang harus siswa kuasai untuk masa sekarang dan sepuluh
tahun nanti; apa yang harus diajarkan; bagaimana pula menumbuhkan semangat pembelajaran
saintifik kepada siswa agar mereka mau mengerti fisika serta agar mereka tahu
bahwa negara kita membutuhkan orang-orang seperti mereka nantinya.
Pendidikan
berbasis Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) yang
menekankan pembelajaran terintegrasi antar ilmu berbasis permasalahan mungkin
bisa pula diterapkan di sekolah menengah walau pun agak sulit karena berbagai
keterbatasan. Namun apa daya usaha sekeras batu pun harus mulai digalakkan oleh
para pendidik. Pembiasaan berfikir integritas adalah salah satunya. Dengan cara
berfikir integritas matematika, sains dan teknologi maka siswa akan jauh lebih
memahami apa sebenarnya makna pembelajaran matematika dan sains kaitannya
dengan teknologi di kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut guru untuk memiliki
kompetensi pedagogik dan profesionalitas ilmu yang begitu mumpuni.
Hasil
penelitian Rasto dan kawan-kawan tahun 2013 menyimpulkan bahwa salah satu
faktor penyebab rendahnya pencapaian SKL mata pelajaran fisika adalah kurangnya
apersepsi dari guru yang bersifat aplikatif. Guru lebih mengedepankan jumlah
materi yang diajarkan, bukan mengedepankan sifat aplikatif dari pembelajaran
fisika. LPTK MIPA di perguruan tinggi sebaiknya menyadari akan hal ini sebagai
sebuah tuntutan di samping sebagai tantangan. Ilmu yang diajarkan secara
parsial atau terpisah kepada mahasiswanya akan membuat mereka bingung memahami
makna pembelajaaran sains dan teknologi di kampus. Ini juga akan berdampak
kurang baik saat praktik di lapangan (sekolah). Oleh karenanya pembenahan
secara berkesinambungan antara pihak sekolah menengah dan perguruang tinggi
perlu dilakukan secara bersama. Semua ini agar pengkaderan ilmuwan dan insinyur
di Indonesia semakin jelas dan lebih baik. Jika kaderisasi telah jelas maka
tanggungan berat pemerintah dan industri-industri pengguna jasa akan semakin
berkurang. Ini mungkin akan berdampak pada kemungkinan kepemimpinan Indonesia
sebagai leader country di pasar terbuka MEA.
Banyak hal yang
telah LPTK lakukan semisalnya dengan berbagai ratusan bahkan ribuan penelitian
untuk mencari suatu titik temu ideal pengajaran sains khususnya fisika dan
teknologi di sekolah menengah. Namun paradigma sulit di benak masyarakat ilmu
itu masih ada terhadap ilmu sains. Problem utama terbesar yang mungkin adalah
sebagian hasil penelitain itu kurang aplikatif di sekolah. Sebagian besar
penelitian pendidikan hanya bertumpuk di perpustakaan dalam berbagai bentuk
tanpa adanya aplikasi penggunaan di lapangan. Fakta bahwa sekitar 74% hasil
penelitian atau riset di Indonesia di berbagai disiplin ilmu merupakan riset
yang tidak aplikatif dan hanya sekitar 26% yang aplikatif baik di pendidikan
sains teknologi atau pun di bidang sains teknologinya sendiri.[4] Oleh karenanya penelitian berbasis
aplikatif perlu didorong bagi peneliti muda, madya, dan professional di bidang
pendidikan sains agar penelitian di bidang pendidikan sains dan teknologi bisa
memperbaiki keadaan dan paradigma buruk itu hilang sehingga kualitas pendidikan
sains lebih baik sehingga siswa-siswi calon mahasiswa insinyur dan sains
teknologi berkualitas tinggi untuk menghasilkan lulusan yang siap guna dan siap
berkompetisi di kancah ASEAN bahkan dunia. Jika banyak insinyur dan saintis
professional pencipta dan pengembang teknologi di dunia industri maka
pembangunan akan semakin cepat dan lancar.
Kebutuhan insinyur dan ilmuwan
sebagai acuan para pendidik
Bagaimana jika
kita tanyakan profesi insinyur dan ilmuwan kepada masyarakat? Ya, mayoritas mengenal
dua profesi tersebut. Jika dulu masyarakat sangat populer dengan kata profesi dokter,
namun dengan peralihan pemikiran dan perluasan ilmu pengetahuan dan berbagai
macam profesi yang semakin populer, maka masyarakat sebenarnya perlu beralih
kepada kepopuleran profesi yang memang berperan dalam pembangunan fisik dan
teknologi inovatif Indonesia sebagai pilar pembangunan bangsa yang kompetitif.
Perlu diketahui
bahwa total kebutuhan insinyur di Indonesia adalah 175.000 orang per tahun
dengan jumlah lulusan yang hanya 42.000 orang per tahun.[5] Angka ini akan terus bertambah
seiring dengan kebutuhan pasar industri terbuka pada MEA tahun 2015, sehingga dukungan
dalam segi riset, publikasi riset, scientific evidence, dan promosi ke
luar negeri akan sangat perlu dilakukan meskipun sebenarnya keterlambatan dukungan
akan terjadi mengingat MEA 2015 sudah di depan mata.[6] Angka lulusan ini belum
merepresentasikan kualitas yang pasar inginkan. Walaupun kebutuhan insinyur dan
ilmuan peneliti dipenuhi oleh perguruan tinggi namun pengkaderan secara dini
bisa dilakuakan terhadap para siswa tingkat menengah seperti di SMA atau SMK Teknologi
yang akan menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
Kualitas
mahasiswa di perguruan tinggi salah satunya bisa dilihat pada cara belajar
mereka di sekolah menengah. Siswa yang memiliki kompetensi professional di
bidang sains fisika dan teknologi terapan lebih berpeluang untuk mengembangkan
keilmuannya dari pada sekedar siswa calon mahasiswa yang siap untuk digembleng
ulang. Siswa yang seperti inilah yang patut diperhatikan untuk mendapatkan
pembinaan sebagai calon insinyur dan ilmuwan sains untuk memenuhi kebutuhan
ratusan ribu teknisi, insinyur, serta ilmuwan sains di Indoensia saat ini atau
nanti. Oleh karenanya peran serta pendidik khususnya guru fisika di sekolah
menengah sangat dibutuhkan mengingat tuntutan MEA 2015 bisa menjadi sangat
berat karena ketidaksiapan atau pun menjadi peluang bagi Indonesia sendiri
karena kelebihan kita.
Sebagai dasar
dari ilmu keinsinyuran, bagaimana mungkin Indonesia bisa memenuhi kebutuhan
pasar insinyur dan ilmuwan teknologi untuk persaingan di kancah ASEAN di tahun
2015 bila siswa-siswi dan bahkan para mahasiswa calon ilmuwan dan teknisi saja
tidak senang dan mumpuni di fisika? Walapun pengajaran fisika di sekolah
menengah tidak berperan langsung dalam keinsinyuran di Indonesia, namun
bayangkan apabila fisika dan ilmu-ilmu sains lainnya menjadi mayoritas
kesenangan di kalangan siswa-siswi di sekolah, pertumbuhan peminatan jurusan teknik
dan sains teknologi akan meningkat disusul dengan minat non-teknik. Jika hal
ini didukung dengan sarana dan prasarana di perguruan tinggi teknologi maka
yang terjadi adalah perluasan grade lulusan yang benar-benar siap
digunakan dan berdaya saing di tingkat ASEAN bahkan mungkin dunia. Hal ini
mendorong semangat kesiapan SDM jika MEA benar-benar terwujud tahun 2015 atau
setelahnya.
Arus bebas jasa
terdidik teknik dan sains teknologi akan benar-benar tidak akan tersingkirkan
dari pasar jasa di waktu MEA. Namun apa daya, 2015 sudah di depan mata, para kepala
negara telah sepakat pada Januari 2007 bahwa MEA dipercepat dari tahun 2022 ke
tahun 2015. Para ilmuwan, teknisi, periset, dan lain sebagainya yang telah dididik
jauh-jauh hari dengan kurikulum yang berlaku saat itu harus menghadapi keadaan
yang teramat cukup sulit akan persaingan. Terlebih lagi UU No. 11 tahun 2014
tentang keinsinyuran terbilang baru. Jika Indonesia meminta kemoloran MEA maka
ini bisa menjadi pertanda ketidak siapan SDM kita. Namun bisakah dalam waktu
sesingkat ini Indonesia mampu berbenah di berbagai sektor terutama sektor pasar
jasa professional ini melalui pendidikan?
Pada Agustus
2006 menteri ekonomi Indonesia bersama menteri-menteri ekonomi dari sembilan negara-negara
Asean pembentuk MEA 2015 telah sepakat mengembangkan ASEAN Economic
Community Blue Print yang merupakan panduan perwujudan MEA. Sebuah
tantangan besar bagi Indonesia untuk siap bersaing dalam kondisi dimana
diperkirakan persaingan besar-besaran di bidang jasa tentunya keinsinyuran dan profesi-profesi
lainnya akan terjadi ditandai dengan arus tenaga kerja yang bebas masuk keluar
antar negara ASEAN. Ini menjadi pertanyaan besar bagi berbagai pihak terkait,
apakah keinsinyuran, ilmuwan teknologi, dan jasa professional kita telah siap
untuk bersaing di pasar jasa bebas MEA 2015? Jawabannya ada pada hasil
pendidikan terdahulu. Para lulusan terdidik dari berbagai institusi teknik dan
non teknik yang menggunakan kurikulum belajar gaya lama akan menikmati hasilnya
pada saat ini. Namun apakah kurikulum perguruan tinggi yang terdahulu mereka
gunakan berorientasi pada tahun 2015 dimana persaingan pasar jasa akan semakin
komptitif dengan segala keterbatasan kita akan jumlah, profesionalitas, dan
kesiapgunaan jasa? Jika kita masih merasa belum berorientasi, maka langkah
strategis apa yang harus dilaksanakan? Bagaimana juga relevansi kurikulum 2013 di
sekolah dalam mempersiapkan anak-anak terbaik bangsa di masa depan ketika MEA
sudah berlaku? Apakah Indonesia hanya akan terus-menerus merombak kurikulum
pendidikan menengah dan atau tinggi
tanpa tau arah pembangunan dan tantangan ke depan?
Hal yang sangat
ironis apabila kurikulum sekolah dan perguruan tinggi saja masih menjadi
perdebatan semenatara negara-negara tetangga sudah lebih baik dalam proses
pendidikan terutama pendidikan sains teknologi. Sebenarnya ada hal yang paling
mendasar dari proses bergulirnya sistem pendidikan di Indoensia yaitu masalah
kualitas guru dan calon guru (mahasiswa calon pendidik). Mengapa demikian?
Kualitas siswa dalam memahami ilmu fisika sangat tergantung pada
kompetensi-kompetensi guru dalam menyampaikan dan mengemas ilmu. Apakah guru
mampu untuk menyampaikan ilmu sedemikian rupa sehingga fisika lebih aplikatif
dari pada sekedar ilmu abstrak yang tak jelas mau digunakan untuk apa. Disini
kemampuan menguasai materi fisika serta aplikatif teknologinya sangat penting,
atau dalam dunia keguruan disebut kompetisi professional guru. Siswa akan
merasa puas jika guru banyak menyampaikan fisika yang bersifat aplikatif dan
mendalam. Jika kemudian guru memperkenalkan kepada siswa sistem belajar sains
terutama fisika di universitas; memperkenalkan penelitian; dan memperkenalkan
profesi keteknikan dan keilmuwanan secara menyenangkan maka siswa akan bertanya
terus menerus mengenai ketiga hal tersebut dan mungkin juga siswa termotivasi untuk
kuliah di jurusan berbasis sains teknologi dan teknik. Hal ini merupakan suatu
keberlanjutan (sustainability). Jika ini terjadi pada semua sekolah
menengah di Indonesia, mungkin kebutuhan akan professional keteknikan dan sains
teknologi akan cukup terpenuhi itu pun jika pendidikan di tingkat yang lebih
tinggi serta UU yang mengatur perteknikan dan sains teknologi sangat serius
diperhatikan.
Menimbang bahwa
baik buruknya pembelajaran sains di sekolah berimplikasi pada kompetensi calon
mahasiswa yaitu siswa, maka penekanan pada subjek ini pun harus lebih intensif.
Kurikulum 2013 yang sekarang digunakan harus mampu merubah paradigma siswa terhadap
pembelajaran sains di sekolah. Pendekatan scientific pada pembelajaran
fisika di sekolah harus mampu menjawab keragu-raguan masyarakat terhadap masa
depan anak bangsa dalam tantangan global di tingkat ASEAN yang mungkin
mengancam kompetensi SDM di Indonesia. Kurikulum 2013 harus membuat siswa lebih
paham bahwa sains dan teknologi merupakan aspek kemajuan suatu peradaban dan
persaingan antar bangsa modern, sehingga siswa dan tentunya pendidik merasa
lebih memiliki kewajiban untuk tergabung dalam pembangunan bangsa
Integrasi Ilmu Adalah Ide Brilian
Sebenarnya
ketidakpraktisan atau ketidakjelasan integrasi ilmu-ilmu alam dengan realisasi teknologi
di kehidupanlah yang membuat peminatan ke jurusan teknik dan sains teknologi
sedikit seperti hasil penelitian dari Rasto dkk (2011). Pengajaran sains di
sekolah menengah kurang diterapkan dalam sains teknologi di kehidupan,
akibatnya siswa merasa jenuh dan berakibat pada kekhawatiran masa depannya.
Pada prinsipnya belajar hingga perguruan tinggi adalah suatu yang bersifat sustainability
atau keberlanjutan. Dengan prinsip ini maka kolaborasi atau penyesuaian di
tingkat menengah atau bawah diperlukan atas tuntutan di tingkat atas. Jika
fisika disifatkan seperti ini di sekolah menengah pertama atau atas,
siswa-siswi akan merasa bahwa belajar mereka berguna di masa sekarang dan masa
yang akan datang. Keberlajutan disini juga diartikan bahwa ilmu yang mereka
dapatkan tidak terputus tak tau arahnya kemana. Ini juga berarti bahwa ilmu
yang harus diberikan bukan hanya sekedar ilmu yang tidak termanfaatkan. Seorang
guru sains di SMP atau SMA perlu menjelaskan apa dampak dari pembelajaran
fisika di sekolah baik dampak terhadap keberlangsungan pendidikan mereka atau
pun terhadap kehidupan setelah mereka mempelajari ilmu fisika. Ini mungkin yang
harus menjadi pekerjaan rumah bagi calon guru sains khususnya guru fisika di
era persaingan teknologi sekarang. Guru fisika perlu tahu lebih ilmu fisika dan
juga perlu tahu teknologi yang sedang mereka bicarakan di kelas. Untuk itu
integritas ilmu sains dan juga prinsip-prinsip dalam teknologi sangat diperlukan
dalam pembelajaran fisika.
Karena teknologi
merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu bangsa maka dari itu perlunya
pendidik mengajarkan sains disertai implikasi teknologi sebagai suatu patokan
keberhasilan. Jika demikian konsepnya maka teknologi sangat erat hubungannya
dengan ilmu sains dan ilmu sains ini diajarkan di sekolah sebagai dasar untuk
pembelajaran di universitas. Arsitektur, teknisi mesin, kimiawan, fisikawan, ilmuan
biologi, periset dan lain sebagainya merupakan bidang ilmu pembangun fisik
bangsa yang mana menunjang baik untuk keberlangsungan perekonomian dan industri
bangsa tentunya dalam menghadapi tantangan pasar barang dan jasa bebas pada MEA
2015. Untuk itu pengenalan terapan teknologi dalam pembelajaran sains di
sekolah adalah ide brilian untuk mempersiapkan masyarakat ilmu yang unggul.***
RUJUKAN ILMU
1.
Putra, Sitiatava Rizema. 2012. Tips-tips Jitu Mencetak Siswa
Juara Olimpiade Sejak Dini. Jogjakarta: Diva Press
2.
Rasto, Nahadi, Soesy Asiah S., dkk. 2011. Analisis Kompetensi
Ujian Nasional dan Model Pengembangan Mutu pendidikan SMA di Jawa Barat. Artikel
hasil penelitian. Tersedia pdf: http://file.upi.edu/Direktori/FPEB
/PRODI._PENDIDIKAN_MANAJEMEN_PERKANTORAN/132296305-RASTO/Artikel%20Hasil%20Penelitian/%5B2011%5D%20Analisis%20Peta%20Kompetensi%20Hasil%20Ujian%20Nasional.pdf
3.
Gade, M.. __. Peningkatan Kulitas Sumber Daya Manusia Melalui
Pendidikan Fisika. Tersedia pdf: http://www.umnaw.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/
PENINGKATAN-KUALITAS-SDM.pdf
4.
Harian Kompas edisi 25 November 2014 dalam tulisan “MEA 2015 dan
potensi Pendidikan Indoensia”
5.
Departemen Perdagangan RI “Menuju Asean Economic Community 2015”.
Depag: Direktur Jendral Kerjasama Perdagangan Internasional.
[1]
Kemendikbud. 2013. Peta Indeks kompetensi Sekolah SMA/MA Berdasarkan Hasil UN
2013
[2]
Walter Lewin’s Last Lecture “For The Love of Physics” (16 Mei 2011)
[3]
Departemen Perdagangan RI “Menuju Asean Economic Community 2015” hal. 61
[4]
Prasetyo, Eko. 2014. Peran LPDP dalam Membangun Peradaban Bangsa Indonesia
yang Berdaya Saing. Seminar Adiwidia Pascasarjana 2014. 7 Desember
[5]
Harian Kompas edisi 25 November 2014 dalam tulisan “MEA 2015 dan potensi
Pendidikan Indoensia”
[6] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar