Senin, 25 Mei 2015

Matematika Tidak Benar-Benar Dikucilkan, Bukan?


Opini mengenai ‘ketidakikut sertaan’ ilmu matematika dalam peraihan Nobel sejak 1901 hingga sekarang.

Tema: Implementasi Matematika di Abad 21

Oleh Teguh Gumilar

@surga-fisika


 Matematika adalah ilmu dasar. Matematika adalah revolusi, evolusi, dan solusi bagi kemajuan umat manusia. Matematika adalah ibu dari segala ilmu. Dengan matematika manusia bisa menciptakan piramida, candi Borobudur, menghitung distribusi penyebaran manusia, membantu dalam ilmu ekonomi, menghitung panjang garis pantai yang tak beraturan, membantu para arsitek dalam pembangunan Burj Khalifa sebagai gedung pencakar langit tertinggi di dunia, membantu perluasan teori kuantum mekanik, dan berbagai ilmu lainnya. Hampir semua ilmu menggunakan matematika. Para pemilik otak cerdas yang pernah hidup sebelum abad ke-21 meleburkan diri dalam matematika untuk membuat formula umum yang nantinya akan sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban umat manusia pada abad-abad selanjutnya. Teori bilangan, teori informasi, teori fungsi, kalkulus, persamaan diferensial, geometri analik, topologi, logika matematika, geometri eukledan, geometri non eukledan, dan cabang matematika lainnya adalah dasar bagi banyak ilmuwan dalam merumuskan alam semesta dan sosio-kehidupan. Tapi, mengapa matematika bukan kategori pada penghargaan ilmu pengetahuan tertinggi di dunia, hadiah nobel?

Ini suatu masalah pekat sejak nobel pertama diberikan tahun 1901. Ada dua versi populer mengapa matematika tetap vakum hadiah Nobel. Pertama versi Francis-Amerika bahwa Mittag-Leffler memiliki hubungan gelap dengan istri Alfred Nobel. Sedangkan versi Swedia menjelaskan bahwa Mittag-Leffler adalah seorang matematikawan terkemuka di Swedia ketika Alfred Nobel menuliskan keinginannya pada tahun 1895. Alfred Nobel menyangka bahwa jika Matematika merupakan kategori ilmu nobel maka Leffter akan memenangkan nobel pertama. Maka dari itu tidak ada nobel untuk matematika. Jika benar demikian, apakah alasan ini pantas dipertahankan?

Jika latar belakang aplikatif ilmu merupakan alasan Alfred Nobel dalam melahirkan hadian nobel tentunya matematika masuk dalam kategori. Tapi kenyataannya jelas tidak. Hal ini membuat spekulasi buruk di kalangan sejarawan sains terhadap Alfred Nobel bahwa keinginannya menghargai manusia yang berpengaruh besar di dunia tidak murni atas dasar aplikatif pengetahuan melainkan dipengaruhi oleh masalah pribadinya dengan ilmuwan lain. Bukan juga mengucilkan usahanya, tapi kritik tetap harus dilontarkan kepada panitia nobel sekarang. Walau pun ada penghargaan Fields Nobel untuk matematika, masyarakat akademika lebih populer dengan nobel dan dianggap sebagai penghargaan tertinggi ilmu pengetahuan dan tentunya sangat membantu dalam mempopulerkan fisika dan kimia di institusi pendidikan khususnya di Indonesia. Bukan juga atas dasar populeritas matematika harus dinobelkan. Sekali lagi dasarnya adalah aplikatifnya yang begitu luas.

Salah satu hal yang paling mengesankan dari peran matematika terhadap perombakan ilmu yaitu teori relativitas umum karya Albert Einstein yang merupakan teori paling sukses di abad ke-20. Dalam perumusan teori relativitas umum tahun 1955, Einstein sangat terbantu dengan adanya geometri non-eukledis dalam melukiskan ruang waktu sebagai teori gravitasi baru, memperbaiki teori gravitasi lama berusia ~200 tahun milik Isaac Newton. Kini atas teorinya, para ilmuwan di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 bisa memprediksi geometri alam semesta dengan tepat. Atas karya besarnya tentunya Einstein sangat berterima kasih kepada ilmuwan matematika terdahulu yang meletakan dasar-dasar matematis bagi teorinya.

Tentunya ini hal yang ironis apabila teori matematika geometri non-euklides karya Bernhard Riemann yang merombak fisika tidak dijadikan dasar Alfred Nobel untuk mengkategorikan metematika dalam keinginanya. Riemann juga memperkenalkan tensor yang mendasari perhitungan dalam teori relativitas umum.

Selanjutnya hal paling menarik dari ilmu matematika dan para matematikawan yang dapat dijadikan acuan peraihan nobel adalah konsep fraktal yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Benoit Mandelbrot dari Universitas Yale. Fraktal adalah geometri modern yang melukiskan pola pola yang tampak tak beraturan di alam menjadi pola geometri matematis yang unik. Sebagai contoh bentuk cabang batang pohon yang berulang pada cabang-cabang kecil di atasnya. Kini konsep fraktal banyak digunakan diantaranya sebagai desain antena-antena yang dikembangkan oleh Nathan Cohen pada jutaan telepon genggam di seluruh dunia; konsep fraktal digunakan untuk menghitung panjang garis pantai yang tampaknya tidak beraturan dan tidak bisa dimatematiskan; konsep fraktal digunakan dalam teknik animasi modern pada perusahaan perfilman; konsep fraktal digunakan dalam menentukan jumlah karbon dioksida di bumi yang akan digunakan dalam program pengurangan emisi karbon dunia. Konsep matematika baru yang dikenalkan abad ke-20 ini patut juga mendapat pertimbangan untuk menjadikan matematika sebagai kategori nobel.

Jika kita memperhatikan keinginan Alfred Nobel sebagai bapak hadiah nobel yaitu memberikan penghargaan kepada laki-laki dan wanita yang telah memberikan manfaat terbesar kepada umat manusia, matematika seharusnya pantas dikategorikan pada penghargaan nobel. Sifat aplikatif yang tak terbatas di abad ke-21 dari fraktal, geometri eukledian, non-eukledian, kalkulus, dan lain-lain, yang merupakan hasil karya matematikawan harusnya tidak membuat matematika absen dalam nobel. Sejak dicetuskannya hadiah nobel pertama tahun 1901, penelitian pada bidang fisika, kimia, dan ilmu kedokteran meningkat drastis. Hadiah nobel dijadikan mimpi dan prestasi hidup terbesar para iluwan. Dalam hal ini, walau pun matematika tetap memimpin dalam kerajaan ilmu, panitia nobel tidak mengambil kebijakan terhadap matematika. Masyarakat akadmis mengakui bahwa matematika sebagai akselerator ilmu lain. Apabila ada nobel matematika, ini akan menjadi akselerator juga bagi matematikawan di seluruh dunia untuk pengembangan matematika lebih banyak dan lebih elegan.

Memang, matematika sekarang lebih terintegrasi dengan ilmu lain. Namun sifat independensi matematika sendiri memperoleh dukungan yang begitu banyak untuk dikategorikan dalam nobel. Di sisi lain, jika para penolak nobel matematika beralasan bahwa matematika tidak secara langsung berperan dalam perteknikan, keinsinyuran, elektronika, kedokteran, dan kosmologi, lalu bagaimanan dengan bantuan teori-teori elegan matematika dalam hal-hal tersebut? Apakah hal ini belum lah cukup dipertimbangkan panitia nobel di Swedia? Tengok saja apa yang dilakukan oleh Isacc Newton dan Leibnitz yang berhasil menemukan kalkulus pada abad ke-7. Independensi kalkulus diakui oleh seluruh institusi sains dan teknologi dunia sebagai dasar pengetahuan dalam mempelajari ilmu-ilmu sains lanjut. Di bidang fisika, kalkulus telah membantu secara matematis pendaratan manusia di bulan serta berhasil menjelaskan pergerakan planet yang merevolusi pandangan para astronom modern mengenai tata surya dan alam semesta.

Jika banyak yang menganggap matematika bukan disiplin ilmu yang praktis, maka dengan tegas saya berpendapat bahwa kesusasteraan yang dijadikan kategori nobel lah yang bukan disiplin ilmu yang praktis. Walaupun begitu, kesusastraan hingga sekarang masih dipertahankan oleh panitia nobel atas dasar awal keinginan Alfred Nobel. Merupakan masalah ketika ilmu matematika yang lebih membantu banyak ilmuwan mengembangkan sains dan teknologi dari pada kesusastraan tidak dijadikan kategori nobel. Bukan bermaksud merekomendasikan kesusastraan dihapuskan dari kategori nobel, tetapi jika ilmu matematika dilihat dari segi penggunaannya pada riset dasar, riset terapan, dan riset perkembangan akan lebih terpandang untuk dikategorikan dalam nobel.

Banyaknya orang cerdas seperti John Forbes Nash dan Lloyd Shapley yang mempunyai ‘titel’ matematikawan tapi bernobel ekonomi merupakan tuntutan juga kepada penitia nobel untuk menghargai ‘titel’ natural mereka sebagai matematikawan. Bidang ekonomi yang dikategorikan 73 tahun setelah kematian Alfred Nobel dan didanai penuh oleh bank sentral swedia Sveriges Riksbank menjadi kontroversi masyarakat akademis. Jika panitia nobel menambahkan kategori nobel ekonomi atas dasar jaminan pendanaan abadi dari Sveriges Riksbank, maka selayaknya mereka harus kembali pada keinginan Alfred Nobel tanpa adanya unsur lain seperti masalah pendanaan. Masyarakat akademis bisa menilai mana diantara matematika, kesusastraan, dan ekonomi yang merupakan ilmu dasar atau terapan serta mana yang pantas dikategorikan nobel.

Nobel matematika harus ada demi memperkuat dan mengambalikan keinginan Alfred Nobel untuk menghargai siapa pun yang berpengaruh banyak pada umat manusia. Jika panitia nobel tetap pada pendiriannya, mungkinkan ada jalan lain dalam menghargai matematikawan seperti para ekonom yang telah lebih dulu dihargai. Ketiadaan nobel matematika membuat sebagian matematikawan beralih memenuhi daftar nobel untuk ekonomi atau bidang ilmu lainnya. Apakah ini berarti matematika telah dikucilkan? Tidak! Ya, tidak juga. Mungkin Tuhan lah yang lebih pantas menghargai mereka. Ilmu milik Tuhan dan oleh karenanya Tuhan lebih tau cara menghargai para matematikawan daripada panitia nobel.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar